INILAH AKU
Aku dilahirkan dari rahim seorang
perempuan cantik yang kemudian kuketahui sebagai ibuku. Ibuku adalah isteri
terakhir dari 4 isteri ayahku. Keberadaannya sebagai isteri ke 4 bukan karena
ibuku mencintai ayahku sejak awalnya, tapi itu terjadi karena perjodohan yang
dilakukan oleh orang tuanya, kakek nenekku.
Kehadiran ibu ditengah
isteri-isteri ayahku yang lain ditanggapi dengan sangat dingin dan dengan
pandangan yang sangat menghina. Sampai-sampai nenek (dari pihak ayah) tak mau
mengakui aku sebagai cucunya. Aku dianggapnya anak kecil pembawa sial dan
pembawa petaka bagi mereka. Ini bukan kata ibuku tapi akulah yang merasakan dan
mendengarnya sendiri. Ayahku juga tak begitu baik menerima kelahiranku. Beliau
tak pernah bersikapmanis padaku apalagi memanjakan aku sebagai anak. Aku merasa
sangat tertekan dengan keadaan ini. Semua orang seperti memusuhi aku, kecuali
ibuku. Aku sendiri tak habis mengerti mengapa semuanya seperti membenciku.
Apakah karena aku tidak membawa keberuntungan seperti kata-kata yang sering
kudengar dari mereka atau karena aku kecil lebih buruk dari yang lain? Sungguh
aku tak tau.
Ayahku seorang yang sangat taat
beragama. Beliau mendidik aku dalam beragama sangat keras. Sejak kecil aku
sudah diwajibkan menjalankan puasa ramadhan secara full time oleh ayahku. Dan
apabila aku terpaksa batal karena tak kuat menahan lapar maka aku akan diberi
hukuman yang sangat menyakitkan. Ia juga mengajari aku tentang kejujuran. Suatu
waktu aku pernah mencuri uang ibu sebesar 5 rupiah untuk kubelikan makanan.
Begitu ayah tahu aku yang mencuri maka ia mengikat tubuhku dengan angkin/stagen
ibuku dan ia gantungkan aku diatas bubungan rumah. Pelaksanaan hukuman beberapa
menit sebelum ayah pergi ke surau untuk memimpin shalat tarawih. Saat itu usiaku
sekitar 6 tahun. Aku ingat betul itu. Ayah mengancam ibuku, bila ada yang
berani menurunkan sy dari bubungan rumah maka ibu yang akan digantung sebagai
gantinya. Selepas shalat tarawih barulah aku diturunkan. Aku tak dapat lagi
menangis karena air mataku sepertinya sudah terkuras habis sebelumnya.
Pernah juga aku diusir dari rumah
karena sebuah kesalahan yang sudah tidak kuingat lagi. Ayah meletakkan
pakaianku ditengah kebun samping rumah. Diatasnya ia letakkan uang sejumlah Rp.
90. Itu uangku hasil aku menjual jambu mete yang aku panjat sendiri dikebunku
yang lumayan luas. Ayah memperhatikan aku yang bersembunyi dibalik pohon mangga
selama berjam-jam. Aku terus menangis tak berani keluar dari balik pohon.
Sesekali kulihat pakaianku yang ditumpukkan ayah ditengah kebun.
Kejadian lain yang masih kuingat
adalah ketika aku pulang mandi di sungai di kampung Rawabengkel. Saat itu hari
sudah menjelang senja. Ayahku sedang menggali tiang bendera di depan rumah
untuk menyambut sepekan kemerdekaan Indonesia. Saat aku melintas di depannya ia
ayunkan golok yang dunakan untuk menggali tiang bendera. Betisku terkena
sabetan punggung golok ayahku. Seketika aku terjongkok menahan sakit. Aku
merasakan sakit yang luar biasa tapi aku
tak berani menangis. Betisku bengkak karena punggung golok itu. Sebanrnya
sebelum aku pulang aku hampir tewas tenggelam di kolam pinggir sungai. Kolam
itu sangat dalam dan banyak sekali ikannya. Baju yang kukenakan terlepas dibawa
lari ikan-ikan di kolam itu. Beberapa saat setelah aku kecebur aku tak
merasakan apapun yang dapat kuinjak sebagai dasar kolam. Sangat dalam. Entah
bagaimana Tuhan menolongku hingga aku selamat dari dalamnya kolam itu aku tak
tau. Seperti ada yang mengangkat tubuhku dari dasar kolam.... dan trapp..,
tanganku langsung memegang sebatang pohon yang tumbuh landai menyentuh
permukaan kolam. Tak ada orang lain yang menolongku. Entah berapa banyak air
kolam yang mengandung kotoran manusia dan ikan masuk kedalam lambungku. Aku
mual dan muntah-muntah. Tiba di rumah disambut dengan punggung golok ayah.
Esoknya aku sakit. Mungkin karena terkejut atau karena terlalu banyak meminum
air kolam. Aku tak tahu...
Saat usiaku hampir 9 tahun Ayahku
jatuh sakit. Berbulan-bulan ia menderita karena sakitnya. Ia sempat lama
dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta. Kemudian berobat ke seorang Tabib
di Batuceper, Tangerang. Ibuku tengah hamil tua. Ibu menunggu ayah selama
hampir sebulan di rumah Tabib. Sedang aku dan 3 orang adikku yang semuanya
masih kecil” tinggal di rumah bersama nenek dari pihak ibu. Setiap hari sabtu,
aku yang berusia belum genap 9 tahun mengajak adik-adikku menjenguk ayah. Selisih usia kami
masing-masing dua tahun. Aku membimbing adik-adiku naik bus dari Cengkareng ke
Batuceper, Tangerang. Semua orang di dalam bus heran karena kami semuanya
anak-anak kecil tanpa ada yang membimbing untuk bepergian jauh. Ingatanku
sangat kuat. Sehingga aku tidak takut salah turun atau kelewatan. Selalu aku
berhentikan bus di tempat yang seharusnya ku turun. Alhamdulillah kami selalu
selamat tiap kali menjenguk ayah. Dua adikku yang persis di bawah aku adalah
perempuan. Adik nomor dua (perempuan) adalah anak kesayangan ayah. Dia sangat
cantik, sama seperti ibu. Yang lainnya diperlakukan biasa saja. Hanya aku yang
tidak pernah disapa ayahku. Dan aku juga tidak pernah memanggil ayah kepada
ayahku. Aku tidak tahu mengapa sperti itu? Aku masih kecil sehingga tidak
sempat menyelidiki mengapa aku tidak pernah memanggil ayah kepada ayahku.
Setelah beberapa bulan ayah
dirawat di rumah Tabib, ayah minta diizinkan pulang ke rumah. Ayah di rawat di
rumah isterinya yang nomor dua. Suatu ketika aku disuruh ibu membawakan buah
apel besar-besar untuk ayah. Saat itu hujan sangat lebat dan angin kencang luar
biasa. Jarak rumahku dengan rumah isteri
ayah nomor dua ada beberapa kilo meter, lumayan jauh. Baru separuh perjalanan
yang kutempuh aku terhempas oleh angin, jatuh kecebur kedalam rawa kampung
utan. Payung yang kupegang terbang dan jatuh mengambang. Aku berusaha berenang
mengambil payung dan buah apel yang mengambang dipermukaan air rawa. Setelah
itu kulanjutkan perjalanan untuk menjenguk ayah dan mengantarkan buah apel
untuknya. Saat aku tiba dirumah ibu tiriku, aku masih basah kuyup, bibirku
membiru dan gemetaran. Dingin akibat air rawa dan hujan membuat aku menggigil
kedinginan. Aku berdiri diambang pintu kamar ayahku berbaring.tak ada kata yang
bisa kuucapkan karena sejak dulu aku tak pernah memanggil ayah atau sebutan
apapun pada ayahku. Ibu tiriku memberitahu ayah bahwa aku datang dan membawakan
buah untuknya. Distulah untuk kali pertama ayahku menangis kemudian memanggilku
dan mendekapku. Disitu pula untuk pertama kalinya aku memanggil atau menyebut
ayah pada ayahku. Pertama dan untuk yang terakhir kalinya, sebab dua hari
setelah itu ayahku tutup usia. Waktu itu ibu baru beberapa minggu melahirkan
adikku. Praktis dia tak sempat mengenal wajah ayah yang tampan.
Setelah ayah meninggal, aku harus tinggal
dengan Nenek (ibunya ayah) dan ibu tiriku. Semua kami sangat menderita karena
pensiun ayah belum selesai diurus. Kaami makan sangat seadanya. Nasi putih
dengan petsin (seperti, sasa, ajinomoto) paling sering masuk kedalam perutku
tanpa lauk yang lain. Nenek (ibu dari ayahku) sangat galak dan pemarah terutama
terhadapku. Disinilah aku mendapat perlakuan yang sangat menyakitkan yang
hingga aku setua ini tak dapat aku lupakan. Nenek tak mengakuiku sebagai cucu.
Itu ia ucapkan ditengah tamu-tamunya dalam acara perpisahannya untuk berangkat
haji ke tanah suci, tahun 1975. Berurai air mataku mendengar itu. Aku malu
dengan semua orang yang hadir. Benarkah aku bukan cucunya? Lantas untuk apa sy
harus tinggal dirumah ini bersamanya? Kesedihanku benar-benar tak terbendung
lagi. Aku berlari sambil menangis dan membawa beberapa potong pakaianku.
Sepanjang jalan aku menangis hingga aku tiba dirumah adik Nenek (dari pihak
ibu). Aku tak dapat menjawab dengan baik ketika adik nenekku bertanya tentang
apa yang menyebabkan aku menangis begitu rupa.
Setelah beberapa lama barulah dapat kuceritakan tentang ucapan nenekku
yang sangat melukai itu. Aku minta diantar pulang untuk tinggal bersama ibu.
Dan sempat kutanyakan sebenarnya aku ini siapa? Aku anak siapa? Adik Nenek ikut
menagis bersamaku. Akhirnya ia bertekad merawatku, dan membiayai sekolahku. Ia
memintaku untuk melupakan semua orang-orang yang telah membenciku. Aku setuju
meski sampai sekarang aku tak mampu melupakannya.
Ketika aku duduk di kelas V SD,
ibu memintaku pindah dan mengajakku tinggal bersamanya. Aku merasa senang
sekali. Sebab ini yang aku inginkan sejak ayah meninggal dua tahun sebelumnya. Aku
rindu ibu, rindu adik-adikku. Dari SD Cengkareng 01 Pagi, aku pindah ke SD
Petir, kampung ibuku.Hidup kami sangat berat karena hanya ibu yang mencari
nafkah. Ibu bersumpah ia tidak akan pernah menikah lagi dengan siapapun,
kendati waktu ayah meninggal usia ibu baru 28 tahun. Masih sangat muda dan ibu
adalah perempuan yang sangat cantik. Semua orang tau itu. Ibu berdagang,
menjadi cingkao untuk membesarkan kami yang memang masih kecil-kecil.
Bersama ibu ternyata aku sangat bahagia. Aku merasa bahwa aku adalah anak yang
ia butuhkan untuk hadir ditengah-tengah adikku yang lain. Ia sering
membanggakan parasku dan membandingkannya dengan anak-anak orang lain.
Sebelumnya aku tak pernah merasa hidup sebagai manusia kecil, anak dari seorang
ibu dan ayah, atau cucu dari seorang nenek. Aku seperti anak yang tidak pernah
dilahirkan melainkan keluar dengan sendirinya dari celah bebatuan. Karena
ketika itu tak ada yang mau menerimaku. Ibuku sangat taat pada ayah yang ketika
itu sepertinya sangat membenciku. Aku merasakan bahwa ibu kini memberiku
kehidupan.
Hari-hariku bersama ibu dan
adik-adik kulalui dengan keadaan yang serba kekurangan. Bahkan kami pernah
makan hanya berlauk garam yang digoreng dan diirisi bawang. Tapi ini jau lebih
baik dibanding saat aku masih bersama ibu tiri dan nenekku. Meski hidup susah,
aku tak lagi merasa tertekan. Setamat SD aku melanjutkan sekolah ke SMP.
Sebagian temanku mengendarai sepeda untuk pergi pulang sekolah. Sedang aku
harus berjalan kaki beberapa kilometer setiap harinya. Ibu juga tak mampu
memberiku uang saku yang memadai. Bahkan aku sering tak mendapat uang saku
karena ketiadaan ibu akan uang. Aku terima saja keadaan itu. Aku sering diberi
uang dari teman-teman perempuan yang akrab denganku. Katanya mereka senang
berteman denganku karena aku suka melucu.
Tak terasa aku sudah mulai besar.
Tahun 1979 aku sudah duduk di kelas 2 SMP. Kata orang diusia itu seorang anak
memasuki masa pubertasnya. Mungkin itu benar. Aku mulai merasakan
ketertarikanku pada lawan jenisku. Seorang gadis SMP lain sempat menarik
perhatianku. Ia sering menggodaku. Ketika itu aku masih sangat bodoh dan sering
bersikap gegabah. Sampai suatu ketika aku mengiriminya surat cinta. Beberapa
hari aku tak kunjung mendapatkan balasannya. Aku mulai resah sampai aku tau
rupanya anak itu sudah ada pacarnya. Oooh... betapa aku sangat malu. Betapa aku
sangat bodoh. Aku menyesali perbuatanku yang gegabah tanpa selidik. Hatiku
terasa sakit. Perlahan-lahan rasa percaya diriku hilang. Aku merasa sangat
terhina meski kutahu penolakannya mungkin karena ia ada pacarnya. Aku
menafsirkannya dengan sudut pandangku yang berbeda. Aku merasa memang sangat
tak pantas aku melakukannya. Aku merasa aku tak cukup mengenal diriku dengan
baik. Aku tak tahu diri. Aku... semua yang merendahkan diriku kunyanyikan dalam
hati. Hingga akhirnya aku tumbuh menjadi seorang remaja yang sakit secara
mental dihadapan teman perempuan.
Di SMA, aku bersekolah di SMA
Negeri 33 Jakarta, salah satu sekolah favorite di wilayah Jakarta Barat.
Keadaanku yang serba susah makin membuatku tak mudah bergaul. Aku merasa aku
harus berdiri terpisah dari siapa saja karena aku tidaklah sepadan dengan
mereka. Sebenarnya mereka sangat menyukai candaku, dan kata-kata spontan yang
meluncur lepas dari bibirku. Tapi tetap saja aku tak bisa bergaul rapat
denganemua teman. Aku merasa sangat kecil bila dibanding dengan mereka. Di
kelas 3 SMA, aku tak dapat kelas. Namaku tak tertera diabsensi kelas manapun.
Setiap 1 minggu aku masuk di salah satu kelas 3 yang ketika itu ada 3 kelas
pula. Diminggu ke 3 aku bingung namaku tak juga muncul di kelas yang terakhir.
Tapi aku putuskan untuk tetap berada dikelas terakhir itu. Anehnya tak
seorangpun guru yang menyinggung keberadaanku yang berpindah-pindah kelas.
Dikelas terakhir, aku harus duduk bertiga dideret paling belakang. Terus terang
ini bukanlah tempat favoritku. Aku lebih senang duduk dibaris tengah atau
didepan. Tapi semuanya sudah penuh, yang tersisa hanya baris pinggir depan yang
jarak pandangnya membuat silau. Dibaris pinggir itu duduk seorang siswi
sendirian. Dia sangat cantik, mana berani aku duduk bersamanya dalam satu meja.
Suatu hari guru idolaku masuk dan
memintaku untukmenuliskan catatan di papan tulis. Kebetulan aku dikaruniai
tulisan tangan yang bagus sehingga bila aku menulis tak seorangpun yang
komplain karena tulisan yang kurang jelas. Sebelum aku menulis, aku gantungkan
tas kecil milikku dihandel pintu masuk. Tas kecil itu kubuat sendiri dari karung terigu dan
kutuliskan dengan tulisan yang kata orang lain, sangat lucu. Kutulis dengan
spidol hitam permanent, KANTONG IKAN ASIN. Setiap ada yang keluar atau masuk
kelas, tas itu ikut terbawa daun pintu. Mungkin ini menarik perhatian siswi
cantik yang duduk seorang diri itu. Diam-diam ia mengambil tasku dan
menyimpannya dilaci sebelah tempatnya menyimpan tas dan buku. Karuan saja
selesai menulis di papan tulis aku mencari siapa yang telah mengambil tasku. Dia
memanggilku dan memberi tahu bahwa tasku ada padanya. Aku mendekatinya
bermaksud untuk mengambil tasku itu. Tapi ia mengajakku duduk disebelahnya. Aku
tak dapat menolak. Aku gugup dan tak bisa berkata apapun. Sejak penolakan waktu
SMP itu aku kehilangan rasa percaya diri yang hebat.
Lama-lama aku terbiasa duduk
disebelah gadis itu. Dia sangat perhatian kepadaku. Bahkan dia sering
membuatkan surat untuk sekolah manakala aku tak masuk karena ketiadaan ongkos.
Ia juga sering menanyakan keberadaanku pada teman lain bila sudah waktu belajar
aku belum berada dikelas. “eh, mana suami gue, lu ngeliat ga?”. Aku pernah
mengkap basah ucapannya itu. Dia sangat malu padaku. Sebenarnya aku sangat
menyukainya bahkan mungkin aku mencintainya. Tapi aku menahannya saja dalam
hati karena aku berfikir bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Sampai aku tamat SMA
hasrat itu kusimpan rapat. Impian untuk menjadikannya kekasih tak pernah
kusampaikan meski semua teman meyakinkan aku bahwa ia mencintaiku. Aku
terkungkung oleh rasa rendah diriku yang parah. Hingga kini ia masih sering
menayakan aku pada teman-teman saat reuni sekolah yang kebetulan aku tak pernah
menghadirinya. Aku memang kurang bisa berada ditengah-tengah acara seperti itu.
Sejak masa sekolah aku tak pernah hadir dalam undangan apapun. Teman-temanku
ingin sekali aku hadir dipesta ulang tahun teman lainnya. Aku tak cukup percaya
diri hadir ditempat seperti itu.
Setamat SMA aku bingung mau
kemana dan ingin menjadi apa. Tak pernah terlintas sebuah keinginan untuk
menjadi sesuatu. Hidup kulalui tanpa harapan dan cita-cita. Aku berfikir
percuma saja cita-cita kugantungkan jika keadaanku seperti ini. Aku tak akan
mampu meraihnya. Dan aku kasihan pada ibu yang mencari nafkah seorang diri.
Tapi rupanya ibu berfikir lain. Aku harus menjadi seseorang. Maka diam-diam ibu
membeli formulir untuk test masuk Perintis IV. Ia menitipkan uang pembelian
formulir kepada sepupunya. Aku tak mau mengisinya. Aku tak mau kuliah. Sebab
kalau aku kuliah maka masa-masa sulit seperti di SMA pasti kutemui lagi. Ibu
tak menyerah begitu saja. Ia minta sepupunya untuk mengisikan formulir itu. Anehnya
dari semua teman yang ikut test masuk hanya aku yang lulus. Aku lulus bersama
2000 calon mahasiswa baru dari 19000 peserta yang ikut.
Kujalani masa-masa kuliah dengan
ogah-ogahan karena sesungguhnya bangku mahasiswa tidak pernah aku inginkan.
Apalagi dengan keadaanku yang serba kekurangan. Selama kegiatan kuliah aku
sering tidak makan karena uang yang ada disaku hanya untuk ongkos pulang.
Bahkan aku sering berjalan kaki dari Cengkareng ke rumahku yang berjarak tak
kurang dari 5 km, lantaran jalan macet dari Rawamangun hingga aku harus terlambat tiba dicengkareng.
Diatas jam 10 malam mobil angkot tak ada lagi yang beroperasi. Yang ada hanya
becak dan ojek yang mangkal menunggu penumpanng yang kemalaman. Ongkos yang aku
punya hanya ongkos angkot yang tak bisa digunakan untuk ongkos becak atau ojek.
Berjalan kaki menjadi opsi satu-satunya buatku. Berjalan dalam keadaan lapar
dan kelelahan sungguh sangat tak nyaman. Tapi itu harus aku lakukan.
Tiba di rumah sudah tengah malam.
Ibu dan adik-adikku sudah tidur kelelahan. Kadang aku sedih karena sesampai di
rumahpun tak ada makanan lezat yang dapat kumakan. Lauk seadanya dengan nasi
yang sudah hampir basi. Beberapa saat aku duduk melepas lelah setelah perutku
dirambahi makanan yang sejak pagi baru kujumpai. Tak ada yang harus aku sesali
sebab aku tahu bahwa nafkah ini dicari oleh ibuku seorang diri.
Penyakit rendah diri yang
menyerangku kian parah. Aku merasa asing ditengah-tengah orang lain. Penampilan
mereka yang jauh berbeda dengan penampilanku membuat minderku semakin
menjadi-jadi. Sepatu robek, celana yang tak pernah ganti, adalah perlengkapan
yang membuatku tampil sangat berbeda dari teman lainnya. Bahkan entah berapa
lama aku harus memakai sepatu hansip untuk mengikuti kegiatan kuliah. Temanku
bilang aku eksentrik, aku nyentrik, padahal sesungguhnya aku tak menginginkan
itu. Itu karena ketiadaanku.
Seorang gadis manis tertarik
padaku. Bodoh sekali gadis itu. Dia tak tahu siapa yang ia sukai ini. Aku tak
boleh membiarkannya hanyut dalam harapan yang ia bangun. Aku harus
membangunkannya agar terjaga dari mimpi buruk itu. Dengan sedikit rasa sungkan
kujelaaskan padanya tentang aku dan ketiadaan minatku untuk menjalin hubungan
pada siapapun. Dia tidak terima. Dia merasa tersinggung dan terhina. Biarlah
daripada dia harus meraih impian yang sangat tidak layak buat gadis terhormat
dan bermatabat seperti dirinya.
Sebenarnya aku belum bisa
melupakan gadis SMA teman sebangkuku. Tapi aku tetap tak memiliki keberanian
sedikitpun untuk mengungkapkannya. Aku merasa tak layak juga baginya. Kubunuh
semua rasaku. Kutindas semua mimpiku. Kini aku terus berjalan tanpa impian.
Kosong... lengang tanpa nyanyian...
Aku tamatkan kuliahku tanpa kesan
apapun. Tak pernah cinta singgah dihatiku. Perasaan yang akan tumbuh menjadi
benih itu sudah terbunuh sebelum tunasnya keluar. Aku tak pernah mencicipi
indahnya hidup berpacaran. Bukan aku tak ingin tapi kukira tak seorangpun yang
sudi menerima cintaku yang berwarna kusam.
Setamat kuliah aku diminta
mengajar di sebuah sekolah yang bernaung pada sebuah perguruan Islam. Disinilah
aku menemukan perempuan yang bersedia menerima cintaku yang hampir usang. Cinta
pertamaku yang langgeng hingga sekarang. Gadis itu adalah siswiku. Entah
mengapa aku tertarik dengannya? Mungkin karena ia sangat cantik dimataku. Padahal
ada beberapa siswi yang sempat kutangkap isyaratnya ketika itu. Aku memilihnya
karena ia layak buatku. Tapi jujur saja aku lupa untuk memikirkan apakah aku
cukup layak untuknya?
Setahun aku mengajar sampai
akirnya aku harus meninggalkan sekolah itu dan gadisku. Perpisahan dipenuhi
isak tangis siswa dan siswiku. Aku harus meninggalkan mereka ke tanah seberang.
Aku diangkat sebagai PNS di SMP Negeri 2 Muara Tebo, Propinsi Jambi. Aku harus
menerima konsekwensi ini karena aku penerima beasiswa ikatan dinas semasa
kuliah. Dulu memang sempat terlintas dihatiku untuk pergi sejauh yang aku bisa.
Aku ingin meninggalkan dan menguburkan semua kegetiran hidup. Aku ingin hidup
dengan suasan baru ditempat yang baru. Tempat yang tak akan dikunjungi siapapun
yang mengenal aku. Aku sempat bimbang karena janjiku pada seseorang yang ingin
mengorbitkan aku menjadi seorang penyanyi. Ia sangat menyukai karakter suaraku.
Dan ia yakin aku akan menjadi penyanyi besar. 12 lagu ia siapkan buatku. Aku sangat
serius berlatih vokal dan menghafal lagunya. Tiba-tiba SK itu muncul dan
melemparkan aku ke Jambi. Aku memohon petunjuk dan pertimbangan pada ibu yang
telah membiayai kuliahku. Ibu menyerahkan keputusan sepenuhnya kepadaku. Ia sudah
lepas dari kewajibannya sebagai orang tua atas kewajiban memberi pendidikan. Kini
ia menyuruhku memilih jalan hidupku sendiri. Sebagai anak yang hendak
menunjukkan baktinya, aku memilih berangkat ke Jambi. Aku ingin membahagiakan
ibu yang sudah memberi modal pendidikan. Sementara orang yang ingin
mengorbitkanku mencoba mencegahku untuk berangkat ke sana. Maafkan aku harus
memilih jalan yang telah dibuat oleh ibuku.
Betapa keputusanku membuat orang
itu frustrasi. Sejak ia mengenal aku, ia sudah melupakan kebiasaanya menenggak
minuman. tapi sepeninggalku dia kembali akrab dengan alkohol, malah makin
menjadi-jadi. Aku batal untuk dibesarkan menjadi seorang penyanyi pop. Aku memilih
menjadi guru karena hidupku adalah untuk ibu.
Dua hari sebelum aku berangkat ke
Jambi, aku melamar gadisku untuk membuktikan keseriusanku atas hubungan itu. Aku
sudah menduga sebelumnya kalau lamaranku bakal ditolak oleh ayahnya. Sebab gadis
itu sudah ia jodohkan dengan seorang kaya di kampung itu. Kakakku yang membawa
pinangan itu merasa direndaahkan dan dipermalukan. Tapi aku tetap sabar karena semuanya sudah aku
bayangkan.
Sehari menjelang aku berangkat ke
Jambi, kakaknya mengundangku ke rumahnya. Ataas nama ayah dan keluarganya ia
meminta maaf padaku. Ia mempersilakan aku untuk melanjutkan hubungan jika aku
masih berkenan. Cintaku sangat rumit dan berliku. Karena aku mencintainya maka
permintaan maaf itu aku kabulkan. Dan hubungan aku lanjutkan.
Aku tiba di Kota Jambi sore hari,
tanggal 28 November 1986. Aku berdua dengan teman kuliah yang juga ditempatkan
disana. Ia bertukar cincin dengan kekasihnya menjelang berangkat ke Jambi. Itu ia
ceritakan kepadaku. Dia ditempatkan di SMP Negeri Mendalo Darat, 13 km dari
Kota Jambi arah Muara Tembesi. Menjelang maghrib kami masuk kejalan menuju
hutan. Jalannya becek dan berlubang-lubang. Kami diterima oleh Kepala Sekolah
yang kebetulan sedang mengerjakan sesuatu dihalaman dalam sekolah. 2 hari aku
menginap di Mendalo baru kemudian temanku mengantarkan aku ke Muara Tebo. Nyaliku
sempat ciut membayagkan tempat tugas seperti apa yang aku dapatkan. Mendalo
Darat saja yang Cuma 13 km dari Kota Jambi terletak ditengah hutan, apalagi
tempatku yang berjarak 180 km. 4 jam kami berada di Bus kecil menuju Tebo. Dan aku
gembira ternyata SMP itu berada tepat dipinggir jalan Lintas Jambi. Temanku menginap
untuk menemani aku selama 2 hari juga untuk membalasa jasaku. Setelah itu ia
kembali ke Mendalo untuk tugas rielnya. Seperginya temanku aku baru merasakan
betapa dusun ini sangat sepi dan gelap. Meleh air mataku menyaksikan hutan yang
hitam terbungkus kelam. Selama ini aku tak pernah terpisah sejauh ini dari ibu.
Aku teringat ibu dan adik-adikku.
Esok malamnya puluhan anak gadis
dari dusun induk bertandang ketempatku menginap. Mereka berteriak dari luar
dengan suara keras : “ ooo pak, keluarlah kamu tu,,, kamiko nak nengok kamu...
kato urang kamu tu elok nian. Keluarlah pak e”. Aku takut mendengar seruan
gadis-gadis itu. Aku mengintip dari celah papan rumah tempatku menumpang. Akhirnya
aku keluar menemui mereka atas saran wakil kepala sekolah. Aku keluar dengan
lampu teplok ditangan kananku. Subhanallah aku terkejut melihat wajah mereka
yang berbalut bedak tepung berwarna putih tebal. Sungguh ini sangat
menakutkanku. Mereka pulang dengan riang karena aku telah memperlakukan mereka
dengan sikap yang ramah.
Kurang dari sebulan namaku sudah
banyak dibicarakan orang-orang dusun itu. Mereka menganggapku orang
yang elok rupo elok pulak perangainyo. Suatu malam aku dibawa ke dusun
induk oleh seorang pemuda yang mengaku anak seorang imam di dusun itu. Ia ingin
aku bertemu seseorang yang khusus datang dari Kota Jambi untuk mengenalku. Aku menemuinya
dengan segenap rasa hormatku. Ia gadis cantik anak seorang pengusaha kayu
gelondongan di dusun Sungai Keruh. Sebagai perantau aku bersikap hormat dan
membuka diri pada siapapun. Rupanya sejak pertam melihatku ia jatuh cinta
padaku. Ia selalu minta ditemui di rumahnya setiap malam. Kendati ia cantik aku
tidak tertarik karena aku telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak
mengecwakan gadisku di Jakarta. Kutolak ketika ia minta diantar kembali ke Kota
Jambi atas alasan tugas dan pekerjaan.
Setelah itu bibi dan pamannya
datang kepadaku untuk membujuk agar aku mau dengan kemenakannya itu. Ia menjanjikan
memenuhi apa yang aku inginkan. Aku tetap menolak dengan alasan-alasan yang
kuperhalus sedemikian rupa agar tak menyinggung perasaannya. Tetap saja mereka
datang membujukku. Celakanya si gadis merasa bahwa aku telah menjadi pacarnya. Isue
itu menggema memenuhi jagat seantero dusun Sungai Keruh. Aku kebingungan
sekaligus takut bukan kepalang. Sampai akhirnya sebuah fitnah memutus upaya
keluarganya mendekati aku. Fitnah seorang teman yang menginginkan gadis itu
membawa keselamatan bagiku. Walaupun aku harus membayarnya hampir dengan
nyawaku. Ibu gadis itu menulis surat untukku dan mencaci aku sebagai orang
munafik yang membalut prilakunya dengan topeng ibadah. Kebetulan berkat
kefasihanku membaca al-qur’an aku dipercaya menjadi khotib jumat dan sangat
diandalkan untuk idul fitri dan idul adha. Selain itu aku juga mengajar ngaji
anak-anak di dusun tempatku berdiam. Akibat shock dengan surat itu aku hilang
kendali dan terganggu konsentrasiku. Diatas motor yang kupacu dari bumi
perkemahan Sungai Gelam pikiranku berkecamuk tak ikhlas dengan cacimaki itu. Beberapa
kilometer dari Muara Tembesi aku terjatuh dari motor dengan kaki terjuntai
kejurang yang luar biasa dalam. Nyaliku hilang melayang melihat dasar jurang. Sekujur
tanganku berdarah terkelupas. Aku berdua dengan suami kepala sekolahku. Ia tak
mengalami lecet sedikitpun tapi keesokannya aku mendapat kabar tubuhnya mati
sebelah kanan. Kudapati ibu gadis itu di dusun. Ia sangat terkejut dengan
kedatanganku yang masih berlumur darah dikedua lengan. Aku jelaskan apa yang
sesungguhnya pernah aku ucapkan. Alhamdulillah ia percaya dan dapat menerima
penjelasanku. Belakangan aku malah dianggapnya sebagai anak angkatnya. Alhamdulillah.
Tahun 1990 aku kembali ke Jakarta
dan menikahi gadis yang telah kutinggalkan selama 4 tahun. Tanpa pesta kami
melalui hidup baru itu. Sampai saat itu aku masih tak biasa dengan suasana
pesta. Makanya aku tak mau ketika ibu gadisku berniat pesta atas pernikahan
kami.15 hari setelah menikah aku kembali ke Jambi seorang diri. Ini aku lakukan
karena aku harus menyediakan tempat tinggal yang dapat kami sewa untuk kami sebagai
keluarga. Sebulan setelah itu aku kembali ke Jakarta untuk memboyong isteriku
ke Jambi. Ia terkejut dengan suasan sepi dusun dipinggir hutan. Ditambah lagi
dengan rumah dinas guru yang sangat kecil yang hanya berisi tempat tidur kayu
yang kubuat atas petunjuk teman. Kasur kapuk kuisi sendiri setelah belajar dari
temanku. Tak ada lemari pakaian, tak ada meja tulis atau meja untuknya merias
diri. Sangat memprihatinkan.
Satu setengah tahun sejak kami
menikah tibalah musim kemarau panjang. Selama 7 bulan tak pernah turun hujan
setitik jua. Orang dusun menyebutnya kemarau asap karena alam senantiasa
diselimuti kabut asap yang tebal. Jarak pandang tak labih dari 5 m. Isteriku sedang
hamil anak pertama. Kasihan sekali ia nampak pucat karena kurangnya gizi dari
makanan yang dapat kami temui. Tak ada sayuran, tak pula ada ikan sungai
batanghari yang kerap kami makan. Kemarau asap ini telah melumpuhkan semua
orang.
Aku membonceng isteriku yang
hendak melahirkan. Diatas bagasi sepeda tua yang aku pinjam ia merintih
kesakitan karena terguncang oleh jalan berlubang. Waktu itu aku sedang mengecat
sekolah demi sedikit upah tambahan yang sangat aku butuhkan. Isteriku melahirkan
ditangan orang yang bukan ahlinya. Ia hanya seorang perawat di Puskesmas
Pembantu dekat sekolah tempatku mengajar. Ia bukan bidan. Aku ikut membantu
proses persalinan itu. Anak lelakiku talah lahir dalam keadaan serba
kekurangan. Isteriku trauma atas proses persalinan yang sangat menyakitkannya. Aku
sendiri merinding kalau harus mengingat itu.
Aku membeli sebidang tanah yang
lumayan luasnya dan siap dirumahkan. Semua kebutuhan sudah aku beli untuk
menjadi sebuah rumah mungil berbahan dasar papan. Kusen pintu dan jendela
kubuat sendiri dengan model mutakhir yang sedang trend di Jakarta. Saat itu aku
sudah mahir membuat perabot rumah dan lainnya. Setiap pulang dari sekolah
kubuat kusen itu sampai jadi sebanyak dua belas lobang. Tiba-tiba niatku berumah
harus kandas karena ternyata isteriku mengandung anak kedua. Ia tak mau
melahirkan di dusun. Ia ingin melahirkan di Jakarta. Mau tak mau aku
mengantarnya pulang. Selama 7 bulan kami terpisah jarak. Seluruh dana tabungan
aku habiskan untuk isteriku melahirkan dan biaya hidupnya di Jakarta. Aku mengirimkan
uang lebih dari cukup setiap bulannya karena aku tak ingin isteriku jadi beban
ibunya atau kakanya yang lain. Sejak kandungan tujuh bulan hingga putera
keduaku berusia 5 bulan aku baru kembali ke Jakarta untuk melihat anakku. Saat aku
melihat anak pertamaku yang sudah hampir masuk usia pra sekolah fikiranku
berguncang. Aku harus mengambil satu pilihan yang harus kuputuskan. Sejak itulah
bulat tekadku untuk meninggalkan Sungai Keruh dan kepegawaianku.
Tahun 1996 aku lari dari tugasku
sebagai Pegawai Negeri Sipil, tepatnya sebagai tenaga pendidik dan tenaga
pengajar pemerintah. Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak yang pintar. Di dusun
tempatku berdiam suasan pendidikan belum sebaik yang aku harapkan. Karakteristik
masyarakat ditempat itu belum memberi rangsangan positif pada dunia pendidikan.
Maka aku kembali ke Jambi untuk pamit dengan semua orang yang telah bersikap
baik kepadaku selama itu, tidak dengan kepala sekolah. Bukan ia tak baik, tapi
aku tak ingin niatku berhenti dari kepegawaianku terhalang oleh kewenangannya. Diam-diam
aku berpamitan pada teman-teman, orang-orang tua, dan tokoh masyarakat di
dusun. Kutinggalkan semua kenangan yang aku punya. Titik air mataku saat
kupandang masjid yang telah berdiri kokoh karena perjuanganku dan tokoh
masyarakat dusun itu. Masjid ini yang telah mengancam hidupku dari kemarahan
orang-orang di dusun induk. Bupati Bungo Tebo (waktu itu ; Abdul Mutholib, SH.)
sempat berkirim surat dan meminta proses pembangunan masjid dihentikan karena
alasan bahwa aku telah mempermalukan Islam. Kutatantang suratnya dengan merujuk
pada kemaslahatan umat dan dasar-dasar ajaran fikih. Camat mencoba
menyelesaikan masalah sebagai perpanjangan tangan bupati. Aku bersitegang
dengan Kepala Desa, Kepala KUA dan Imam Masjid Besar Desa Sungai Keruh
dihadapan Camat. Perundingan tak menghasilkan apapun karena aku tidak bersedia
memenuhi permintaan semua orang yang hadir memusuhiku, termasuk permintaan
Camat Tebo Tengah (ketika itu ; Achmad Riva’i). Aku juga menolak untuk
pembicaraan lanjutan yang diusulkan camat, karena tempat yang ditunjuk bukan
tempat dimana persoalan itu lahir. Dua hari kemudian Camat memanggilku
menghadap dan ia menyerah kepada kegigihanku. Ia memerintahkanku melanjutkan
proses pembangunan masjid yang memang sudah rampung 95 persen. Beberapa miinggu
setelah itu aku meminta Camat untuk meresmikan operasionalisasi masjid. Aku ingin
Camat mengundang kepala Desa dan semua orang yang memusuhi aku. Camat
menyanggupi permintaanku dan ia meminta agar pada acara peresmian nanti aku
yang harus menyampaikan laporan pembangunan masjid dan menyentil semua orang
yang telah menentang keras upayaku bersama masyarakat di dusunku. Akhirnya aku
dapat melakukannya dengan baik. Camat sangat puas dan berkali-kali menepuk
bahuku.
Aku sudah berada di Jakarta
sebagai pelarian pegawai negeri sipil. Aku bekerja di sebuah perusahaan milik
temanku sebagai tenaga Medical Representatif sampai krisis ekonomi muncul yang
ditandai dengan peristiwa pembakaran dan penjarahan toko dan perusahaan milik
orang-orang Tiong Hoa, 1998.
Dua tahun aku hidup sebagai
pengangguran dengan beban isteri dan 2 anakku. Isteriku mengambil langkah
penyelamatan ekonomi rumah tangga. Ia berdagang sebatas kesempatan dan sejumlah
kecil modal yang kami punya. Aku sudah frustasi mencari kerja. Hari-hariku
kuhabiskan di tanah lapang untuk bermain layang-layang. Kulitku terbakar hitam
oleh matahari tanah lapang yang garang. Baru pada tahun 2000 aku mendapat
pekerjaan kecil. Mengajar disebuah sekolah milik yayasan Islam di belakang
terminal Kalideres. Waktu itu aku sambil berdagang. Kocar-kacir aku mencari
penghidupan. Setahun saja aku mengajar di sekolah itu karena aku tak suka
dengan intrik yayasan. Padahal yayasan malah memberiku jabatan yang bagus. Tapi
demi rasa setiakawan dengan hampir semua teman yang dipecat maka aku menolak pemberian
jabatan itu dengan alasan konsentrasi dagang. Kembali aku kehilangan pekerjaan
dan berlari di tanah lapang untuk menatap tinggi layang-layang. Tidak berapa
lama setelah itu aku dipercaya memimpin organisasi mitra pemerintah kelurahan. Aku
takmenginginkan jabatan ketua karena beberapa alasan. Tapi kenyataannya aku
yang melaksanakan segalanya. Atas kompetensi minimal yang aku miliki aku
diminta bekerja di perusahaan entertainment. Perusahaan yang bergerak dalam
bidang pendiudikan dan jasa keartisan. Aku mulai mengenal orang-orang yang
biasa muncul dilayar lebar dan layar kaca. Hingga pada suatu saat manajer
agency memintaku untuk ikut bermain sebagai figuran dialog sebuah sinetron yang
berjudul BUNDA. Bersama Dina Olivia, Tora Sudiro, Meriam Belina, dll. Aku diminta
berperan sebagai dokter. Mulailah aku mencicipi dunia akting yang sebelumnya
sama sekali tidak kukenal. Satu episode di sinetron Bunda mengundang tawaran
buat sinetro lain, yaitu ADA APA DENGAN CINTA. Aku bermain masih sebagai
figuran kecil. Disinetron ini aku berperan sebagai Boss Foto Model. Bermain dengan
Andika dan Olivia Zalianti. Kemampuan aktingku cukup pesat. Hanya dengan 2
shoot aku berhasil merampungkan adegan itu. Setelah itu aku mendapat tawaran
lagi. Kali ini ini jumlah episodenya lebih banyak, pada sinetron YOYO. Sayang pemilik
perusahaan tempatku bekerja tak memberi izin atas alasan tugas pokok
kantor.padahal aku sudah sangat yakin inilah debutku di dunia akting. Aku mengundurkan
diri dari perusahaan entertainment itu. Permintaanku sangat merisaukan pemilik
perusahaan. Ia coba menghalangiku dengan memberiku gaji 2 kali lipat dari
biasanya. Aku sudah kadung merajuk. Aku berharap bisa bermain sinetron selepas
dari perusahaan itu. Tapi apa hendak dikata orang yang selama ini mengajakku
bermain tak dapat dihubungi karena hapenya dicuri orang. Sedang hapeku juga
hilang dijambret dipekarangan masjid Al-Adzom Kota Tangerang saat aku
mengantarkan ibu menunaikan ibada haji. Putus semua kontakku.
Lepas dari perusahaan
entertainment aku bekerja diperusahaan distribusi makanan daan minuman ringan,
GARUDAFOOD. Enam bulan aku bekerja disitu karena aku mendapatkan tawaran
disebuah pabrik kacamata di kawasan industri Pasar Kemis. Di perusahaan itu aku
duduk sebagai Wakil Manajer HRD merangkap Purcasing dan Pengawasan Pembangunan
pabrik. Saat itu pabrik belum sepenuhnya rampung dan baru sebagian karyawan
yang bekerja di pabrik yang baru itu. Lagi-lagi nasib baik tak berpihak padaku.
Baru 5 bulan aku menikmati pekerjaan itu terjadi demonstraasi total seluruh
karyawan atas kebijakan komisaris yang kontropersial. Seluruh pemilik saham,
semua manajer mundur bersama semua karyawan lama. Tinggal aku dan beberapa staf
pelaksana lain yang tersisa. Aku sengaja disusupkan sebagai informan oleh
pemilik saham. Tapi komisaris perusahaan cepat mencium gejala tak baik itu. Sesuai
dengan pesan temanku yang operation manager bahwa aku tetap di dalam selama aku
masih dalam jabatan, tetapi silakan mundur jika jabatanku diturunkan. Beberapa hari
setelah para pemilik saham, para manajer dan karyawan senior mundur, akupun
didepak dari jabatanku. Hari itu juga aku mundur.
Kini aku hanya seorang guru di
yayasan yang baru saja kehilangan jabatanku sebagai kepala sekolah. Mungkin aku
terlalu polos untuk meneliti siasat orang yang berkedok teman. Sebelum ini aku
membantu teman untuk mendirikan sekolah yang secara administratif tidak ia
mengerti. Aku membawanya ke pihak berwenang dan kompeten hingga semua berjalan
baik dan mulus. Atas apa yang aku lakukan ia ingin menempatkanku sebagai salah
seorang pendiri sekolah itu. Tapi dengan halus aku menolaknya, sebab aku tak
mengeluarkan dan tak punya andil materi bagi berdirinya sekolah itu. Lantas ia
memberiku jabatan sebagai wakil Kepala Sekolah Bidang Umum. Aku katakan, aku
tak mengharap apapun dari yang aku lakukan. Aku sudah cukup puas hanya dengan
berdiri diluar melihat sekolah itu berjalan. Tapi ia berkeras memintaku untuk
menjadi Wakabid Kurikulum setelah dua tawarannya kutolak. Mulailah muncul
perasaan tak enak dalam hatiku. Akhirnya aku terima tawarannya karena alasan
pertemanan. Ia menawarkan gaji dua kali lipat dari gajiku sebagai Kepala
Sekolah disekolah lama asal aku mencurahkan sepenuh waktu sy disekolahnya itu. Aku
tak bisa terima itu. Sebab dalam hidup ini aku tidak semata-mata mencari
materi. Akirnya dirundingkan kembali dihadapan pejabat berkompeten. Aku mengalah
dan harus menerima 3 hari dalam seminggu berada di sekolah baru. Yayasan tempat
aku mengajar (lama) mengetahui hal ini dan ia sangat marah padaku. Ia tak mau
mendengar penjelasanku. Di bulan Oktober 2012, dua minggu setelah itu aku harus
lengser satu tingkat ke bawah. Di sekolah baru akhirnyapun aku berhenti karena
teman itu telah menipu. Tunjangan jabatanku tidak dibayarkan sebagaimana
perjanjian yang disepakati. Aku hanya menerima kurang dari separuh jumlah yang
dijanjikan. Aku menunggu selama 5 bulan kiranya ia akan dikonfirmasikan hal
itu. Tapi tidak pernah ia singgung sama sekali. Seperti tak melakukan kesalahan
ia berlaku santai di sekolah. Maka sampailah aku pada satu keputusan bahwa
sekolah ini harus kutinggalkan kendati aku sudah mengalami banyak kehilangan. Kini
aku hanyalah seorang yang telah hancur dan dihancurkan oleh teman sendiri. Aku mengalami
kebangkrutan ekonomi keluarga yang sangat parah. aku hampir tak mampu lagi
membiayai hidup keluargaku.
Atas semua yang aku alami
akhir-akhir ini aku berteriak meminta jawabnMU oh Tuhanku, tidakkah aku berhak atas kebahagiaan dan hidup yang
layak? Kapankah kegembiraan hidup ini aku dapatkan? Bukankah sejak aku kecil
ujian itu Engkau timpakan kepadaku? Ampuni aku Ya Robb atas kelancangan
pertanyaanku ini... mungkin aku tak pantas untuk bahagia... atau memang aku
harus berbahagia hanya dengan keadaanku seperti saat ini... Insya Allah aku
terima walau sesungguhnya aku menanti pertolonganmu dengan hati yang mulai
lelah....
Jakarta, 10 Maret 2013